Kamis, 18 September 2014

The Diengs

Selamat malam..

Ya, biasakanlah membaca ucapan selamat malam pada blog saya ini, atau mungkin bagi mereka yang tidak bisa tidur karena belum mendapatkan ucapan selamat malam, sangat dianjurkan untuk membaca blog saya, blog yang sangat cocok untuk kaum-kaum berkebangsaan jomblo, bukan ?
Sebab saya memang gemar menulis pada malam hari, bukan hanya menulis sebenarnya, saya gemar melakukan banyak hal di malam hari. Dalam keadaan Alpha justru otak saya asik diajak bekerja sama. Entahlah.

15 Agustus 2014 lalu, saya dan beberapa teman saya bersepakat mengunjungi dataran tinggi dieng, jawa tengah. Mengandalkan kebaikhatian mas jaduk dalam hal perakomodasian, kita berangkat menggunakan mobil yang disetir langsung oleh empunya, mas jaduk.
Kira-kira jam 5 pagi mas jaduk berangkat dari ungaran, menjemput tembil di krapyak. Setelah itu, mereka menuju ke rumah lia di tanah mas. Kemudian mereka menuju rumah saya di pedurungan menjemput saya dan ipank. Terakhir kami menuju ungaran lagi, menjemput mbak afi. Betapa mulianya mas jaduk. Thanks, bro. You're the real MVP !

Setelah menempuh beberapa waktu perjalanan, sampailah kita di kawasan dataran tinggi dieng. Sesampainya disana hal yang pertama kali kita lakukan adalah mencari penginapan terdekat dengan kota. Ada banyak pertimbangan mengapa kita tidak memutuskan untuk camping di sekitaran sikunir. 

Wisma Flamboyan.Tidak jauh dari indomaret dieng. Tidak terlalu sulit mencari warung. Signal pun masih dapat masuk ke handphone kita. Harga permalamnya 300-350ribu. Free wifi, kamar mandi dalam. Tersedia air hangat. Ada dapur dan bebas menggunakan serta menikmati yang ada di dapur. Kamarnya luas, muat sampai 8 atau bahkan ada yang 10 orang.
Kebetulan kita datang hari jumat, sembari menunggu teman-teman lelaki menunaikan solat, saya dan 2 teman wanita lainnya melaksanakan ibadah wajib kami...
....SELFIE...

Sekembalinya para teman-teman lelaki dari solat jumat, kita istirahat sejenak. Sore nanti kita berencana mengelilingi beberapa tempat di kawasan dieng ini sampai malam. Sembari napak tilas mencari jalan menuju sikunir.

Tempat pertama yang kita singgahi sore itu adalah kompleks candi arjuna. Candi Arjuna ini cukup bersih tamannya. Masuk ke pelatarannya pun gratis.Heran, masuk ke objek wisata tanpa biaya begini kok ya bisa-bisanya bersih dan terawat banget objek wisatanya. Entah ini warganya yang hebat atau pemerintahnya yang hebat dalam hal konservasi.
Di sekitaran candi sana banyak yang menjajakan kentang dieng dan minuman khas dieng. Jajanan-jajanan lainnya pun masih banyak. Tamanya rame anak-anak bermain lengkap dengan udara sejuk khas sorenya pegunungan. 
Setelah lelah berkeliling dan berfoto dari berbagai sisi di kompleks pelataran candi arjuna akhirnya kita melanjutkan perjalanan menuju telaga warna. Jalan menuju telaga warna ini searah dengan jalan menuju puncak sikunir kita dini hari nanti. Telaga warna cukup sepi saat kami kunjungi, karena memang kami berkunjung sekitar jam 5 sore padahal setengah 6 sore telaga warna harus sudah ditutup. Berbeda dengan candi arjuna tadi, telaga warna terlihat lebih singup. Agak menyeramkan dikunjungi pada jam dan hari yang kurang tepat. Masalah keindahan sendiri, telaga warna sangat cantik. Warnanya begitu mempesona. Saya bahkan bisa berkaca di dasar airnya. Beberapa batang pohon dibiarkan tergeletak kokoh dibibir telaga yang menjorok ke tengah. Hal tersebut memberi kesempatan bagi pengunjung yang ingin berfoto disana biar keliatan lebih artistik, gitu.
Akhirnya kita memutuskan untuk pulang, setelah diteriakin bapak penjual tiket karena sudah waktunya tutup. Hehehe.
Dan karena memang kita belum cukup lelah buat rebahan di kasur dingin lagi, maka kita memutuskan untuk napak tilas separuh jalan menuju sikunir. Sekedar pengen tau aja. Jam setengah 6 sore kabut sudah luar biasa tebalnya, dinginya jangan ditanya. Lalu kita memutuskan untuk berputar arah, mencari warung makan dan indomaret terdekat dengan penginapan.

Lagi enak-enak makan, pemadaman bergilir.
Blarrrr !

Pemadaman listrik bergilir waktu itu cukup lama. Sedari megrib sampai sekitar pukul 11 malam. Untungnya, wisma flamboyan memiliki jetset... lah itu kan merek jajanan. Ya, gitulah.

Kita semua memutuskan beristirahat lagi sampai jam 2 dini hari. Karena jam 2 dini hari kita akan bersiap-siap untuk menuju puncak sikunir. Ya makan pop mie, ya minum wedang untuk menghangatkan badan. Adapula yang mengoleskan minyak angin dan minum tolak angin saking dinginya.

Perjalanan menuju puncak memang tidak mudah, apalagi harus menjelajah dieng pada jam 3 pagi. Luar biasa dinginnya. Bahkan di tengah perjalanan kita menjumpai beberapa pemudi yang nampaknya dari Jakarta memakai bedcover sebagai ganti jaket. Yasalam...

Karena satu dan lain hal, yang berhasil mencapai puncak hanya 2 orang teman saya. Saya dan ke empat teman saya hanya sampai pada tepat dibawah puncak sikunir. Hanya sekitar 50meter. Atau kurang malahan.

Pemandangan dari tempat kami tidak kalah menariknya dari puncak sikunir sendiri. Kami bahkan diuntungkan dengan adanya pendaki yang merangkap menjadi penjual popmie dan minuman kemasan yang dihangatkan. Coba, kurang gimana ? Tempatnya sepi pula. Berasa rumah sendiri mau foto-foto juga.
Setelah cukup puas jepret sana sini, kita memutuskan untuk turun, sebelum orang-orang di puncak turun. Kita menghindari kemacetan panjang ala-ala mudik lebaran. Sikunir tidak berhenti pamer pemandangan alam bagi pengunjungnya. Kamera tetap standby ditangan, langkah kaki beberapa kali terhenti, sederhana saja, kami ingin membantu sikunir yang sedang pamer kemegahanya pada manusia.

Sabtu, 16 Agustus 2014 jam 11 siang, kami memutuskan untuk berkemas dan bersiap pulang semarang. Ya tentu saja setelah mampir ke pusat oleh-oleh dan berwisata kuliner dulu. Di desa thieng cukup banyak rumah-rumah penduduk yang memproduksi carica dan mengolah beberapa jenis keripik. Berbagai oleh-oleh banyak ditawarkan disekitaran sini. Tentu saja kita berhenti sejenak, membeli beberapa oleh-oleh sebagai oleh-oleh nyata yang bukan sekedar foto saja.

Kemudian setelah itu, di wonosobo kami mencoba mie ongklok longkrang di jalan ronggolawe yang kebetulan juga kita lewati.

Mie ongklok longkrang ini mudah dijangkau karena memang setiap orang yang baru saja dari dieng dan akan ke semarang pasti melewati jalan ronggolawe ini. Cukup ramai, tapi masih tersisa beberapa meja. Size mie ongklok yang ditawarkan dan jumlah sate sapi sebagai pelengkapnya variatif. Saya memesan yang paling sedikit. Bukan masalah pertimbangan harga juga, tapi memang porsi makan saya yang sedikit, tapi porsi ngemilnya banyak. hehehe
Mie ongklok. Mie dengan kuah nyemek yang manis dengan taburan bawang merah goreng dan sedikit daging cincang. Rasanya nikmat, bikin perut kenyang karena mungkin efek kuah yang dibuat kental jadi mie terasa mudah melar atau entah bagaimana.
Sate sapi. Sate sapi digunakan sebagai pelengkap mie ongklok. Mungkin dulu orangtua mie ongklok dan sate sapi bersahabat dekat sampai akhirnya mie ongklok dan sate sapi dijodokan paksa begini. Ngga masalah sih, enak kok endingnya. Manis sate sapinya tidak terlalu menyengat, dagingnya pun matangnya pas. Enaklah pokoknya. Rasa manisnya beda dengan manis mie ongklok. Jadi tenang, jangan takut eneg, ada obatnya kok...
Tempe kemul dan gebleg. Tempe kemulnya digoreng dengan bumbu mendoan, rasanya pun hampir mirip dengan mendoan. Yang berbeda adalah penggunaan daun bawang yang diganti dengan kucai. Sedangkan geblek sendiri rasanya menyerupai cimol. Rasanya seperti campuran aci dan ketela yang diberi sedikit kucai dan bumbu kemudian digoreng. Beruntungnya, gorengan ini disajikan panas di tiap meja pengunjung mie ongklok longkrang ini. Terpujilah.



Well, begitulah kira-kira perjalanan saya dan teman-teman saya di dieng. Bagi kalian yang jenuh dengan asap perkotaan dan merindukan warna-warna alam, berkunjunglah ke objek wisata alam sekitarmu, dan jangan lupa menyempatkan diri menikmati ragam kuliner khas daerahnya. Tabik !

Minggu, 14 September 2014

Mie Aceh Bang Wali Semarang : Asli Ureung Aceh

"Asli Ureung Aceh". Begitu kira-kira yang tertulis pada papan besar Mie Aceh Bang Wali ini. Maka dapat dipastikan dengan adanya tulisan tersebut, Bang Wali yang namanya tercantum disana, yang merupakan pemilik dan juru masak dari Mie Aceh tersebut adalah orang asli Nanggroe Aceh Darussalam.

Oh, kalian juga paham ? 
Yaudah.

Baik, jadi begini...

Saya dan seorang teman, bernama Iis, pada tanggal 23 Juli 2014 lalu menyambangi Warung Mie Aceh Bang Wali di Tembalang sana. Jalan Banjarsari Raya, Tembalang, Semarang, tepatnya.
 Kitchen yang berada di bagian depan warung dan dekat dengan bibir jalan raya ini merupakan penggoda yang profesional dalam hal menggugah selera makan orang-orang yang lewat di depannya. Saya yang kala itu datang pada saat bulan puasa, tepatnya jam 5 sore, merasa cukup beruntung karena hanya digoda dalam kurun waktu kurang dari sejam.
"Mie Aceh ini memakai 30 jenis rempah untuk bumbunya, mbak" kata Bang Wali.
Wolha pantes, batin saya. Aroma 30 jenis rempah yang udah di blend jadi satu, yang kemudian ditumis di atas wajan dengan minyak panas itu masuk ke dalam hidung dan kemudian bersama-sama menjajah sensor lapar saya.

Kemudian saya dan teman saya yang daritadi ngobrol dengan Bang Wali dari tempat parkir yang memang dekat dengan kitchen memutuskan masuk ke warung. Belum, kami belum menyerah untuk berbuka puasa lebih awal, percayalah !
  Berikut adalah daftar menu beserta harga di Mie Aceh Bang Wali Semarang. Selain Mie Aceh, Bang Wali juga menyediakan Nasi Goreng Aceh.
Jrengggg....
Mie Aceh pesanan saya sudah datang...
Saya memesan Mie Aceh Rebus Spesial Cumi. Karena ketika Mie Aceh saya datang belum terdengar adzan magrib maka saya putuskan untuk menganalisa Mie Aceh Rebus Spesial Cumi di depan saya ini.

Cailah menganalisa...

Mie Aceh Rebus Spesial Cumi ini porsinya pantes buat orang berbuka puasa yang sebelumnya habis lari muterin Semarang 5x. Gwedem, gitu kata orang sini untuk menggambarkan yang lebih gede dari kata gede, begitulah. Untuk porsi sebesar itu, harga 15 ribu nampaknya masuk akal. Belum lagi irisan cumi yang dapat dikatakan banyak dan cukup tebal.
Acar bawang merah dan emping dijadikan pelengkap Mie Aceh Bang Wali. Sebenarnya saya sedikit menebak-nebak kenapa tampilan Mie Aceh ini sangat merah. Hmm, okay.. saya belum pernah makan Mie Aceh Rebus, seringnya sih goreng.
Jreeeenggg, lagi.
Ini Mie Aceh Goreng Spesial Udang Pesanan teman saya. Porsinya sama banyaknya dengan porsi saya. Udangnya juga ngga becandaan lah ngasihnya. Tampilanya sama, minus kuah aja sih.
 
Duh, maaf kalau fotonya ngeblur. Foto ini diambil waktu adzan magrib udah mulai kedengeran, udah mulai ngga fokus. Ini minuman yang saya pesan di Mie Aceh Bang Wali ; Teh Telur. 
Menu minuman yang belum sempat saya foto sih hampir sama dengan menu di tempat makan umumnya, yang berbeda ada es timun suri, teh tarik, teh telur, kopi telur, kopi tarik, kopi terbalik dan es sirup.

HAH ? ES SIROP ? APANYA YANG BERBEDA ?

Beda dong, pertama ditulis es sirup dan penulisan kedua ditulis es sirop, huruf kapital pun. hehe. he.

Yang bikin es sirup ini berbeda adalah sirup yang digunakan merupakan sirup ekspatriat.
Halah.
Ma.. maksut saya, sirup yang digunakan merupakan sirup yang diboyong Bang Wali dari Medan sana, yang deket Aceh.

Yak dan adzan magrib pun tiba, happy tummy everebadeh..




Heits... Bentar, belum kelar.

Di awal tadi sudah saya bahas mengenai tampilan Mie Aceh dan teh telur yang belum saya tau rasanya, sekarang saya sudah bisa bercerita tentang cita rasa dari beberapa menu yang saya pesan tadi.
Terkuaklah sudah akhirnya misteri merah merona kuah Mie Aceh rebus saya.

Belum di sepik, udah malu. HIH !
Awalnya saya mikir gitu, tapi saya sadar kalau ini Mie Aceh dan bukan wajah orang. Mie Aceh memiliki karakteristik yang hampir sama dengan rendang padang dari sisi rempahnya. Warna merah pada kuah Mie Aceh saya ternyata merupakan warna merah dari cabe kering yang digiling bersama tomat dan bumbu rempah yang lain. Soal rasa, dari segi kuah agak mirip dengan tom yum yang dicampur rendang. Asem pedes seger gitu. Enaklah pokoknya. Seger. Makan gini paling enak sekitar jam 3 atau jam 4 sorean, segernya macem habis joging deh. Mie nya sendiri kenyal, dan di tiap Mie Aceh yang disajikan, entah itu biasa, spesial cumi, spesial udang atau komplit selalu ada irisan daging cincang di dalamnya.
Untuk acar bawang merahnya... EWH BANGET ! Sangat diluar dugaan.
Awalnya saya agak sedikit ragu, takut bau dan sebagainya, tapi ternyata rasanya manis asem dan jauh dari kata bau. Enak bangs !
Entah udang ataupun cumi yang ada di piring saya dan teman saya ini matangnya pun pas, tidak overcook, tapi juga tidak alot. Amanlah buat yang berbehel. Tipikal cumi dan udang seger gitu.

Untuk teh telur, awalnya saya serem, takut amis dan semacamnya. Saya menghabiskan beberapa menit untuk sekedar mengaduk minuman di depan saya itu. Kemudian saya beranikan diri meminum 1 sendok teh teh telur dari sendok yang saya gunakan untuk mengaduk tadi. Sengaja saya biarkan tanpa campuran jeruk, biar ketauan rasa aslinya.
AND....
SAVE !
Enak dan jauh dari kata amis. Saya sampai bingung dan setengah ngga percaya kalau ini adalah teh telur. Rasanya mirip milk tea. Manis sepet gitu. Setelah beberapa tegukan, saya campurkan perasan jeruk nipis di teh telur saya. Enak, jadi manis sepet asem gitu rasanya. Hanya saja sensasi rasa milk teanya ilang. Saya pribadi lebih suka tanpa jeruk sebenarnya, pun kalau kalian mau coba pakai jeruk lebih baik teteskan pelan-pelan, aduk kemudian icip. Takar sendiri perlahan-lahan. Kalau keaseman nanti malah mengecewakan, terutama bagi yang kurang seneng asem.

Jadi gitu perjalanan saya ngulik Mie Acehnya Bang Wali di Tembalang, Semarang.
Selamat Mencoba dan maaf baru sempat posting perjalanan bulan Juli di bulan September ini.
Happy tummy dan tetap lestarikan masakan daerah. Tabik !